Sabtu, 04 Februari 2012

DEKADENSI MORAL PEMUDA MINANGKABAU

Negeri minangkabau, negeri yang menjunjung tinggi budaya keislaman sejak dahulunya, sejak para pedagang arab mulai berdagang di pulau sumatera dan menyebarkan dinul islam pada semua masyarakat, dan sampai saat ini budaya tersebut masih terus berlanjut, dan melekat erat pada jati diri masyarakat minangkabau. Di dalam tambo adat, banyak sekali petatah-petitih yang merujuk pada kesantunan dan kesopanan dinul Islam, sehingga mulai muncul petatah “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Hal ini semakin menguatkan, betapa kuatnya penanaman nilai-nilai islam pada budaya minangkabau.

Pada petatah yang sering disingkat menjandi ABS-SBK tersebut, menyiratkan bahwa seluruh adat, budaya dan kebiasaan masyarakat minangkabau haruslah sesuai dengan syarak, yang bermakna syariat, dan tentu saja syariat berasal dari kitab suci Alquran. Makna “basandi” disini, meberikan pemahaman bahwa, seluruh pergerakan dan bentuk adat harus sesuai dengan Al quran, analoginya seperti tubuh manusia, dengan sendi-sendi, manusia dapat bergerak, berlari dan berbagai aktivitas lainnya. Jadi, jelaslah bahwa adat minangkabau harus sesuai dengan al quran.

Budaya Minangkabau, tentu saja menghasilkan output yang juga luar biasa, siapa yang tidak kenal dengan buya HAMKA, alim ulama yang disegani di Indonesia dan dunia Internasional, bahkan November 2011, Buya HAMKA ditetapkan sebagai pahlawan nasional . Siapa yang tidak kenal dengan ke nasionalisme-an dan kereligiusan M. Natsir, perdana menteri Indonesia di zaman orde lama yang mampu menyatukan nasionalisme dan religious yang pada dasarnya bertolak belakang, Siapa yang tidak mengetahui Moh. Hatta, sang proklamator bangsa Indonesia dan berbagai macam figur yang menjadi sosok nasional sampai saat ini.
Namun seiring berjalannya waktu, pemuda minangkabau tidak lagi menjadikan adat minangkabau sebagai panduan, malah menganggap budaya minangkabau sebagai budaya “kampungan” sehingga mengakibatkan budaya ini tergerus oleh zaman, dari tahun ke tahun budaya ini semakin hilang, bagaimana budaya minangkabau tidak hilang, masuknya budaya negatif telah menjadi ancaman bagi negeri minangkabau, lihat saja saat ini, dulunya wanita minangkabau yang berpakaian islami, ber”baju kuruang”, namun sekarang malah berbaju anak kecil, baju yang ukurannya untuk anak kecil tapi dipaksakan untuk ukuran dewasa dan berbagai permasalahan social lainnya yang terjadi di Sumatera Barat

Kemerosotan moral muda-mudi minangkabau telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Menurut berita online Antara,  Departemen Kesehatan (Depkes) RI mencatat kasus AIDS di Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) pada Juni 2009 sebanyak 273, sehingga membuat daerah ini berada di peringkat ke-11 dari 33 provinsi di Indonesia. Penularan kasus AIDS di Sumbar terbanyak terdeteksi melalui hubungan seks bebas dan pengidapnya dominan usia produktif antara umur 20-29 tahun. Penularan AIDS melalui hubungan seks bebas (hetrosex) mencapai 87 persen, perintal sebanyak 10 persen, dan transfusi darah tercatat 15 persen. Sementara itu, kasus HIV penularan melalui Napza sebanyak 15 persen, hubungan seks bebas sebanyak 24 persen, dan tidak diketahui sebanyak 31 persen.

Hal ini kembali menyiratkan semakin jatuhnya moral muda-mudi saat ini, seperti yang diketahui, HIV/AIDS merupakan penyakti “kutukan” yang menular melalui hubungan seks normal(laki-laki perempuan) dan abnormal(homoseksual atau lesbian) dan pemakaian napza dengan pemakaian suntik bersama-sama.

    Untuk itu, perlunya perhatian dan langkah bijak oleh semua elemen masyarakat teruatama pemuda sendiri dalam menanggulangi krisis moral di sumatera barat. Jika hal ini tidak ditangani secara serius, maka tidak mustahil suatu saat akan terjadi lost generation.

Untuk dapat meminimalisir dampak krisis moral pemuda dapat dilakukan beberapa tips yaitu :

  1. Perlunya kasih sayaing dan perhatian dari keluarga dan orang-orang terdekat, sehingga para muda-mudi tidak mencari tempat pelarian yang lain. Dengan begitu karakter anak dapat dibentuk sesuai adat dan budaya Minang.
  2. Penanaman nilai-nilai agama sejak dini, dan menjadikan agama sebagai acuan hidup sehingga membuat hidup lebih terarah dan tidak salah jalan.
  3. Pengawasan terhadap penggunaan media informasi, dengan pemfilteran arus informasi yang masuk.
  4. Menekankan pada seluruh elemen lingkungan agar dapat memberi contoh yang baik kepada anak.
Untuk melaksanakan alur proses diatas diperlukan peran keluarga terdekat, sesuai dengan pepatah minang, “anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Anak sendiri tetap dalam pengawasan dan kasih sayang orang tua, dan kemenakan di bimbing dalam setiap aspek kehidupan.